Analisis Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer
Pelajaran
Bahasa Indonesia
Analisis
Novel Gadis Pantai
Karya Pramoedya Ananta Toer
D
I
S
U
S
U
N
Oleh :
Nama :
Venita Indriana
Kelas : XII IPA
Guru Mata Pelajaran :
Intan Purnama Sari, M.Pd
SMA METHODIST 3 PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2020/2021
Judul Novel : Gadis Pantai
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tahun Terbit : Cetakan Ketujuh, September 2011 ( Edisi
Pertama 2003 )
Tebal
Buku : 270 Halaman
A.
Sinopsis
Cerita Gadis Pantai
Novel ini menceritakan tentang seorang Gadis Pantai yang lahir dan
tumbuh disebuah kampung nelayan di Jawa Tengah, kabupaten Rembang. Seorang
gadis yang manis. Cukup manis untuk memikat hati seorang pembesar setempat,
seorang jawa yang bekerja pada (administrasi) Belanda yang bernama Bendoro.
Setelah menikah dengan Bendoro akhirnya Gadis Pantai dibawa menuju kota tempat
suaminya itu tinggal. Awalnya gadis itu tidak mau pindah ke rumah mewah di kota
itu, tapi ia terus diantarkan orang tuanya yang berpikir Gadis Pantai akan
hidup berbahagia dan nyaman di sana. Di rumah Bendoro tersebut ada seorang
pembantu tua yang mengajarkan kepada Gadis Pantai segalanya yang harus dia tahu
dan lakukan untuk memelihara kenangan suaminya yang berdarah ningrat itu.
Ketika telah menjadi istri Bendoro nama Gadis
Pantai akhirnya diganti menjadi Mas Nganten (Perempuan yang melayani kebutuhan
seks pembesar). Seiring waktu berjalan akhirnya Mas Nganten terbiasa dengan
pembantu tua itu hingga mereka berdua saling menyukai. Selain dia (Pembantu
tua), tidak ada orang pun di rumah itu
yang peduli pada Mas Nganten yang merasa sangat sendirian. Bahkan dikunjungi
oleh suaminya sendiripun jarang karena alasan kesibukannya sebagai seorang pembesar.
Suatu ketika terjadi masalah dalam rumah Bendoro yang ukurannya jauh lebih
besar dari rumah-rumah yang ada di Kampung Nelayan tempat Gadis Pantai berasal.
Tak disangka ternyata hal itu sampai membuat pembantu tua yang berkawan baik
dengan Mas Nganten harus angkat kaki dari tempat ia mengabdikan dirinya selama
bertahun-tahun untuk Bendoro. Semua itu bermula ketika pembantu itu mengkritik
anak-anak yang ada di rumah (Agus) karena kesalahan yang telah mereka lakukan.
Setelah kepergian pembantu tua itu, pembantu
berikutnya ternyata jauh berbeda dengan pembantu sebelumnya. Ia adalah
Mardinah, seorang pelayan baru. Dia anak seorang jurutulis dari kota. Sikapnya
berani kepada Gadis Pantai. Belakangan terungkap bahwa dia diutus Bendoro putri
bupati demak untuk mengupayakan agar anak Bendoro putri bisa dikawini oleh
suami Gadis Pantai. Mardinah diberi janji apabila berhasil maka dia akan
diambil jadi istri kelima. Perlahan Gadis Pantai yang berasal dari kampung itu
mulai menyadari bahwa pernikahannya dengan Priyayi itu hanyalah percobaan saja
karena nantinya suaminya itu akan menikah dengan wanita segolongan ningrat
seperti Bendoro. Tetapi dengan tabah dijalaninya semua takdir yang telah
memaksanya masuk jauh lebih dalam pada kehidupan yang awalnya tidak
diinginkannya.
Suatu hari Gadis Pantai mendapat ijin untuk
mengunjungi orang tuanya di kampung. Disitu dia mengalami perubahan perilaku
orang kampung terhadap dirinya. Dia dianggap Bendoro, priyayi bukan orang
kampung lagi. Itu merupakan hal yang sangat menyedihkan dan menyakitkan buat
Gadis Pantai.Tiga tahun berjalan usia pernikahan Gadis Pantai dan Bendoro
akhirnya ia di karuniai seorang buah hati yang sudah sangat dinanti-nanti oleh
orang tua Gadis Pantai tapi tidak untuk Bendoro atau suaminya sendiri. Namun
nasib buruk masih setia mengiringi kisah hidup Gadis Pantai, setelah mengetahui
bayi yang dilahirkan Gadis Pantai ialah bayi perempuan, akhirnya Bendoro
menceraikannya dan mengusirnya dari bangunan megah, istana Bendoro itu. Dan
yang lebih menyayat hati, Gadis Pantai terpaksa harus meninggalkan darah
dagingnya yang baru berusia beberapa hari itu karena perintah dari suaminya
yang tega membuangnya begitu saja bagai sampah.
Dengan hati hancur Gadis
Pantai meninggalkan anaknya di rumah si Bendoro. Malu dengan keadaannya yang
tak bersuami, tak punya rumah, dan anaknya dirampas Bapaknya sendiri, Gadis
Pantai memutuskan untuk tidak pulang ke kampung halamannya sendiri. Tapi ia
berbelok ke selatan, ke Blora. Selama sebulan setelah kepergiannya, ia selalu
mengawasi keadaan rumah si Bendoro. Namun setelahnya, ia tak kelihatan lagi.
B. Fakta Sejarah Yang Terdapat
di Dalam Novel Gadis Pantai
Berikut dibawah ini merupakan cuplikan Novel Gadis Pantai yang
menunjukkan masukknya unsur sejarah dalam cerita. Waktu Pangeran Diponegoro kalah
perang kakek lari lagi bersama seorang priyayi yang juga ikut huru-hara. (Gadis
Pantai, 2011:hal 57). Tentang perayaan perkawinan Raden Ajeng Kartini beberapa
tahun yang lalu, dan tentang upacara pemakamannya juga beberapa tahun yang
lalu. (Gadis Pantai, 2011:hal 60). Lantas saya dikirim ke jepara sana buat
kerja rodi, tanam coklat. (Gadis Pantai, 2011:hal 61). Kasihan mendiang
Den-ajeng Tini. Begitu berani. Siapa lebih berani dari beliau. Menghadapi
Belanda mana saja tidak takut. (Gadis Pantai, 2011:hal 70). Sekarang ia mengerti
cerita bapak yang pulang dari kota beberapa tahun yang lalu, mengapa dia dan
beberapa orang kawannya mesti pergi ke kota, ke alun-alun, ke kabupaten, buat
menyatakan hormat pada pengantin dari Jepara itu. Itulah Den-ajeng Tini? Betapa
singkat usia, tapi betapa di hormati. Ia tak suka perkawinan agung itu. (Gadis
Pantai, 2011:hal 71). “Ah Surapati itu, seorang budak-belian saja.” “Betul, Mas
Nganten, taoi akhirnya dia jadi raja. Dia kalahkan raja-raja Jawa. Dia kalahkan
kompeni, Mas Nganten. Bukan main.” (Gadis Pantai, 2011:hal 100). Dan dokar sewaan
berjalan tenang mengangguk-angguk di jalan pos buatan tuan besar Guntur alias
Daendels. (Gadis Pantai, 2011:hal 141). Dan dokar berjalan terus menggelinding
di atas jalan pos buatan Daendels. (Gadis Pantai, 2011:hal 266). Fakta sejarah
tersebut yaitu tentang Perjuangan Pangeran Diponegoro, Perjuangan Raden Ajeng
Kartini, Penjajahan Belanda, dan Kerja Rodi membuat Jalan Pos oleh Daendels.
Peristiwa sejarah tersebut merupakan fakta kehidupan yang benar-benar terjadi
di Indonesia khususnya di Jawa pada saat itu.
C. Analisis Kaidah Kebahasaan Teks Novel “Gadis Pantai”
Berikut ini adalah kaidah kebahasaan Novel
Gadis Pantai antara lain :
1). Kata yang bermakna lampau
a. a. “Sahaya Bendoro.” (Gadis Pantai,
2011:hal 32).
Sahaya adalah hamba atau
abdi pada zaman dahulu. Sekarang disebut dengan saya.
b. b. Terdengar, “Bendi! Suruh sediakan bendi! Di dalam satu jam mesti sudah sedia.” (Gadis Pantai, 2011:hal 54).
Bendi adalah kereta beroda dua yang ditarik oleh seekor kuda dengan pengemudi di depan (dokar) pada zaman dahulu. Sekarang disebut dengan delman.
c. c. Tak
ingat pesan Ayahanda? (Gadis Pantai, 2011:hal 21).
Ayahanda adalah sebutan ayah pada zaman dahulu.
a. Emak
: ibu. (Gadis Pantai, 2011:hal 14).
b. Bujang : sebutan untuk seorang pria yang belum atau tidak mempunyai istri atau pasangan (Gadis Pantai, 2011:hal 16).
c. Priyayi : suatu golongan tertinggi
dalam masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan. (Gadis
Pantai, 2011:hal 18).
d. Orok
: bayi. (Gadis Pantai, 2011:hal 18).
e. Bendoro
: majikan, tuan (juga sebagai bentuk sapaan untuk pejabat tinggi pada zaman kolonial). (Gadis Pantai, 2011:hal 17).
f. Mbok
: kata sapaan untuk wanita yang kebih tua. (Gadis Pantai,
2011:hal 28).
g. Rukuh
: mukenah. (Gadis Pantai, 2011:hal 37).
h. Lindri : mata dengan pandang lunak menyerah. (Gadis Pantai, 2011:hal 49).
2). Konjungsi Temporal dan
Konjungsi Kronologis
a. Konjungsi
Temporal
Contohnya :
1. Kemudian
meneruskan, “Uh-uh-uh, tak pernah aku mimpi anakku pernah mengenakannya.” Dan
sekarang meledak tangisnya yang tertahan. (Gadis Pantai, 2011:hal 14).
2. Akhirnya seorang
bujang wanita masuk membawa air teh manis sambal menggendong bayi pada
punggungnya. (Gadis
Pantai, 2011:hal 17).
b. Konjungsi Kronologis
Contohnya :
1. Dan beberapa hari setelah
itu sang gadis
harus tinggalkan dapurnya, suasana kampungnya, kampungnya sendiri dengan bau
amis abadinya. (Gadis Pantai, 2011:hal 11).
2. Semua itu pernah dilihatnya dua tahun yang lalu, waktu dengan orang-orang sekampung dating beramai
ke kota, nonton pasar malam. (Gadis Pantai, 2011:hal 15).
3. Dahulu ia pun
menjadi bagian dari gerombolan anak-anak telanjang bulat itu. (Gadis
Pantai, 2011:hal 36).
4. “Sebelum tiga bulan, sebenarnya Mas Nganten tidak boleh berbuat apa-apa. Nanti sahaya menghadap Bendoro. Mas Nganten mau kerja apa?”. (Gadis Pantai, 2011:hal 68).
3). Kata Kerja yang Menggambarkan Suatu
Tindakan (Verba Material)
a. Gadis Pantai berdiri
dari kursi. (Gadis Pantai, 2011:hal 26).
b. Ia turuni jenjang
ruang belakang berjalan menuju ke arah dapur. (Gadis Pantai, 2011:hal 34).
c. Gadis Pantai melompat. (Gadis Pantai, 2011:hal 44).
4.) Kata Kerja yang Menunjukkan Kalimat
Langsung
a. “Kita pulang saja,
mak?” Gadis Pantai bertanya. (Gadis Pantai, 2011:hal 25).
b. “Sahaya Bendoro,” ia
berbisik. (Gadis Pantai, 2011:hal 32).
c. “Tolong aku panggilkan dia,” bisik Gadis Pantai. (Gadis Pantai, 2011:hal 47).
5). Kata Kerja yang
Menunjukkan Kalimat Tidak Langsung
a. Emak
bertanya pada Gadis Pantai dengan matanya dan Gadis Pantai menjadi ragu
sejenak, kemudian mengangguk. (Gadis Pantai, 2011:hal 48).
b. “Kakek itu pernah bilang mbok, segalanya bersumber
di laut. Tak ada yang lebih berkuasa dari laut. Nenek moyang kami juga bakal
tidak ada kalua laut tidak ada.” (Gadis Pantai, 2011:hal 86).
c. Ingin sekali wanita tua itu peringatkan Gadis Pantai, tapi ia tak berani. (Gadis Pantai, 2011:hal 97).
6). Kata Kerja Mental
a. Kata Kerja yang
Dirasakan
❖Gadis Pantai merasa aneh sekujur
tubuhnya setelah kembali ke kamar dan ganti pakaian. (Gadis Pantai, 2011:hal 29).
❖Dirasainya
tangan yang diangkatnya begitu berat waktu mencari tangkai kunci. Kaki-kaki pun dirasainya kelu waktu hendak berdiri. (Gadis Pantai, 2011:hal 38).
❖Wanita tua
itu merasai tangan Gadis Pantai menggigil waktu menghadapi para kerabat Bendoro
yang pada berdiri di depan pintunya. (Gadis Pantai, 2011:hal 111).
❖Dirasainya sekepal-sekepal udara yang padat membumbung ke atas dari dasar perutnya mendorong seluruh isi perutnya ke atas pula. (Gadis Pantai, 2011:hal 245).
b. Kata Kerja yang Dipikirkan
❖“Mengapa Mas Nganten melamun? Bapak pasti selamat sampai di rumah.” Gadis Pantai berhenti membayangkan bapak. (Gadis Pantai, 2011:hal 48).
❖Dan Gadis Pantai teringat pada masa beberapa tahun dulu, dengan telanjang diri bersenjatakan rumah karang ia sendoki bibit bandeng dari tepian laut, dimasukkan ke dalam belanga kecil yang diisi air dan dedaunan tembakau. (Gadis Pantai, 2011:hal 181).
❖Gadis Pantai tak dengar, ia bayangkan bapaknya. (Gadis Pantai, 2011:hal 163).
D. Struktur Novel “Gadis Pantai”
Berikut
ini adalah struktur Novel Gadis Pantai antara lain :
1). Perkenalan Situasi Cerita
Ada seorang gadis yang berasal dari
perkampungan nelayan yang bernama Gadis Pantai. Seorang gadis yang manis ,
cukup manis untuk memikat hati seorang pembesar.
2). Komplikasi atau Pengungkapan
Peristiwa
Pada umur 14 tahun, Gadis Pantai
dibawa ke kota untuk dinikahi oleh Bendoro (pejabat permerintah kolonial) yang
tidak ia cintai.
3). Menuju Konflik
Ada pembantu baru yang bernama Mardinah,
ia berani melawan Gadis Pantai. Ia dijanjikan Bendoro Demak sebagai istri
kelima nya kalau Mardinah dapat membunuh Gadis Pantai agar putri Bendoro Demak dapat
menjadi istri dari suami Gadis Pantai.
4). Puncak Konflik
Gadis Pantai hamil anak perempuan dan Bendoro kecewa karena yang di harapkan nya adalah seorang anak laki-laki sehingga Gadis Pantai diceraikan oleh Bendoro.
5). Penyelesaian
Bendoro mengambil anak Gadis Pantai dan
menyuruh Gadis Pantai pergi dari rumahnya. Malu dengan keadaannya yang tidak
memiliki suami ia pun memutuskan untuk tidak pulang ke kampung dan menetap di
Blora.
6). Koda
Perempuan adalah seseorang yang
paling berharga dan terhormat, jadi jangan menjadikan perempuan sebagai istri
percobaan atau pemuas nafsu laki-laki.
E. Unsur Pembangun Novel “Gadis Pantai”
Berikut ini adalah unsur pembangun Novel Gadis Pantai antara lain :
1). Unsur Intrinsik (Unsur pembangun dari
dalam)
a. Tema : Kritik pada Feodalisme
Jawa.
Karena roman ini banyak menceritakan tentang masyarakat yang berasal
dari golongan bawah dengan masyarakat yang berasal dari golongan atas, ningrat
atau bangsawan, serta segala perlakuan tak berperikemanusiaan yang terjadi
dalam praktik feodalisme Jawa atas orang-orang yang mengatakan “ rendahan ”
atau berasal dari kaum bawah yang umumnya lahir di kampung.
b. Amanat :
- Tidak penting apakah kita ini termasuk orang rendahan atau seorang
bangsawan, kita tetap sama di mata Tuhan.
- Mengabdi itu yang utama adalah kepada Tuhan bukan kepada manusia yang
dijunjung seakan penguasa dunia.
- Sebuah jabatan atau kekuasaan janganlah menuntun kita pada sebuah
kesombongan
c. Latar :
1). Tempat
- Di
gedung besar di kota Rembang
- Di pesisir pantai kampung nelayan di Rembang
- Di rumah
Gadis Pantai
- Di kamar
Gadis Pantai dalam pendopo
- Di ruang
tamu pendopo
- Di ruang makan
pendopo
- Di ruang khalwat pendopo
- Di dapur pendopo
- Di perahu
- Di rumah Kepala Desa
- Di gerobak / Dokar
2).
Waktu :
Sekitar tahun 1930 atau 1940-an dimana penjajahan Belanda masih di Indonesia atau bahkan sudah hampir berakhir, karena orang-orang di pendopo masih menggunakan Bahasa Belanda pada beberapa waktu.
3).
Suasana :
❖ Menegangkan
1. Ketika para pengawal Mardinah di pukuli dan di lempar ke laut. (Gadis
Pantai, 2011:hal 211).
2. Ketika Mardinah dipaksa untuk tidur diluar, di balik semak karena telah
mencoba membunuh Gadis Pantai. (Gadis Pantai, 2011:hal 220 – 222).
3. Ketika Gadis Pantai berteriak mengatakan bahwa Mak Pin adalah seorang
laki-laki dan bukan perempuan. (Gadis Pantai, 2011:hal 187).
4. Ketika Gadis Pantai mencoba keluar bersama anaknya dari pendopo dengan paksa namun, dihadang oleh pengawal-pengawal Bendoro. (Gadis Pantai, 2011:hal 264).
❖ Mengharukan
1. Ketika Gadis Pantai melepas kepergian Emak dan Bapaknya kembali ke
kampung. (Gadis Pantai, 2011:hal 67).
2. Ketika pelayan tua yang selama ini menemani Gadis Pantai diusir dari
pendopo. (Gadis Pantai, 2011:hal 120).
3. Ketika Gadis Pantai menangis sambil menyusui anaknya untuk terakhir kalinya. (Gadis Pantai, 2011:hal 261).
❖ Menakutkan
1. Ketika para pengawal dan Mardinah cemas dengan kabar datangnya bajak
laut. (Gadis Pantai, 2011:hal 209).
2. Ketika warga datang ke rumah Gadis Pantai dengan membawa peralatan
tajam untuk melawan para pengawal. (Gadis Pantai, 2011:hal 206).
❖ Membahagiakan
1. Ketika Gadis Pantai menyambut warga kampung nelayan saat mengunjungi
Emaknya. (Gadis Pantai, 2011:hal 164 – 166).
2. Ketika Gadis Pantai mengetahui jika ia mengandung. (Gadis Pantai, 2011:hal
246).
3. Ketika si Dul menikah dengan Mardinah diiringi sorak sorak warga
kampung nelayan. (Gadis Pantai, 2011:hal 232).
4).
Tokoh dan penokohan :
1. Gadis Pantai : Polos, baik hati, tidak
sombong
“Aku tak butuhkan sesuatu dari dunia kita ini. Aku Cuma butuhkan
orang-orang tercinta,hati-hati yang terbuka, senyum tawa dan dunia tanpa duka,
tanpa takut.” (Tersurat, Gadis Pantai, 2011:hal 138).
2. Bendoro (Suami Gadis Pantai) : Sopan, alim, egois
“Kau milikku.
Aku yang menentukan apa yang kau boleh dan tidak boleh, harus dan mesti
kerjakan. Diamlah kau sekarang. Malam semakin larut,” (Tersurat, Gadis Pantai, 2011:hal
136).
3. Emak : Penyayang
“Aku dan bapakmu banting tulang biar kau rasakan pakai kain, pakai kebaya, kalung, anting seindah itu.” (Tersurat, Gadis Pantai, 2011:hal 13).
4. Bapak : Keras
“Apa kau bilang ?” tanyanya
sekali lagi dan suaranya mengeras membentak. (Tersurat, Gadis Pantai, 2011:hal
44).
5. Kepala Kampung : Mudah
gugup
Dengan wajah pucat kepala kampung akhirnya muncul kembali. (Tersurat,
Gadis Pantai, 2011:hal 23).
6. Pembantu
tua Gadis Pantai : Setia, rendah diri, penyayang
“Aku ingin mbok sayangi aku.”
“Apakah kurang sayang, sahaya?”
“Aku ingin senangkan hati mbok.”
“Apa dikira sahaya kurang senang
layani Mas Nganten?” (Tersurat, Gadis Pantai , 2011:hal 96).
7. Mardinah (pembantu Gadis Pantai
yang baru) : licik, sombong
“Apa bapak Mas Nganten? Nelayan, bukan? Benar, sahaya tidak salah. Mas
Nganten tahu siapa orangtua sahaya? Pensiunan jurutulis. (Tersurat, Gadis
Pantai, 2011:hal 125).
8. Abdullah, karim, said (anak Bendoro dari
istri-istri sebelumnya) : Cepat marah
“Kau pikir apa kami ini? Orang kampung? Orang dusun? Orang pantai yang tak
pernah lihat duit?”
“Apa ini semua maksudnya menghina kami?” yang lain lagi menyerang.
(Tersurat, Gadis Pantai, 2011:hal 112).
9. Dul si pendongeng : Pintar bersyair, penakut
Katanya, si Dul pendongeng paling takut turun ke laut, sampai-sampai
bapaknya membiarkan dia pergi mengembara meninggalkan kampung. (Tersirat, Gadis
Pantai, 2011:hal 198).
10. Kakek tua : Egois, cepat marah
“Diam,” pekik kakek.
“Kau kami panggil ke mari bukan buat berteriak-teriak seperti monyet
gila, kek,” bapak meraung marah. (Tersurat, Gadis Pantai, 2011:hal 193).
11. Mak pin atau Mardikun (Saudara Mardinah) :
Licik
“Siapa dia?” Gadis Pantai menunding Mak Pin.
“Mak Pin. Kita kenal dia.”
“Bukan! Dia lelaki!” suara Gadis Pantai melengking sekuat-kuatnya. (Tersurat,
Gadis Pantai, 2011:hal 187).
12. Pak kusir (yang mengantar Gadis Pantai) :
Ramah, penyayang, sopan
“Aiya-aiya, kudanya kelelahan, Bendoro Putri terlalu banyak bawaannya. Biar lambat-lambat saja, ya Bendoro Putri? Kasian dia angkut tembakau, maka diangkutnyalah tembakau tanpa pernah mendapat bagian. Kalau dia angkut limun, seteguk pun ia tak pernah minum.” (Tersurat, Gadis Pantai, 2011:hal 144).
13. Warga Desa : Figuran
14. Haji Masduhak : Figuran
5). Sudut
Pandang :
Dalam novel ini sudut pandang yang digunakan adalah pengarang serba tahu atau orang ketiga serba tahu, yaitu penyampaian kisah dari segala sudut. Itu artinya pengarang berada di luar teks dan menyebut para tokoh dengan kata ganti orang ketiga, biasanya ditandai dengan kata “dia” atau “ia”. Hal itu ditunjukkan dengan kutipan berikut:
a. Empat belas tahun umurnya waktu itu. Kulit langsat. Tubuh kecil mungil. Mata agak sipit. Hidung ala kadarnya. Dan jadilah ia bunga kampung nelayan sepenggal pantai keresidenan Jepara Rembang. (Gadis Pantai, 2011:hal 11).
b. Ia tahu bapaknya pelaut, kasar berotot perkasa. Ia tahu sering kena pukul dan tampar tangannya. (Gadis Pantai, 2011:hal 13).
c. Waktu Bendoro terlelap tidur, dengan kepala pada lengannya, ia mencoba mengamatai wajahnya. Begitu langsat, pikirnya. Orang mulia, pikirnya, tak perlu terkelentang di terik matari. Betapa lunak kulitnya dan selalu tersapuselapis ringan lemak muda! Ingin rasai dengan tangannya betapa lunak kulitnya, seperti ia mengemasi si adik kecil dulu. Ia tak berani. Ia tergeletak diam-diam di situ tanpa berani bergerak, sampai jago-jago di belakang kamarnya mulai berkokok. Jam tiga. Dengan sigap Bendoro bangun. Dan dengan sendirinya ia pun ikut serta bangkit. (Gadis Pantai, 2011:hal 33).
d. Ia angkat pandangnya sekilas ke depan sana ketika dari pintu samping Bendoro masuk. Ia menggunakan sorban, teluk belanga sutera putih, sarung bugis hitam, selembar selendang berenda melibat lehernya. (Gadis Pantai, 2011:hal 36).
6). Alur :
Maju, terbukti dari cerita mulai dari awal yaitu ketika Gadis Pantai tinggal di kampung nelayan kemudian dibawa ke pendopo, bagaimana kehidupannya kemudian di pendopo, bagaimana ia menyesuaikan diri sebagai “wanita utama”, menjalani hidup dengan Bendoro, mengandung dan melahirkan bayinya dengan Bendoro serta bagaimana ia diusir dari pendopo oleh Bendoro setelah melahirkan bayi yang berjenis kelamin perempuan dan ia memutuskan untuk pergi ke Blora karena malu dengan Emak dan tetangganya di kampung.
2). Unsur Ekstrinsik (Unsur pembangun dari luar)
1). Biografi Pengarang
Nama asli dari Pramoedya adalah Pramoedya
Ananta Mastoer namun lama kelamaan orang lebih mengenalnya sebagai Pramoedya
Ananta Toer atau biasa dipanggil Pram. Pramoedya Ananta Toer lahir pada 6
Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Dan meninggal pada 30 april
2006 dalam usia 81 tahun. Dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta. Beliau
diketahui memiliki istri bernama Maemunah Thamrin dan lima orang anak serta
sembilan orang cucu, istrinya meninggal pada bulan januari tahun 2011 dan
dimakamkan di tempat yang sama dengan Pramoedya Ananta Toer yaitu di TPU Karet
Bivak. Hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara, 3 tahun dalam penjara
kolonial, 1 tahun di Orde lama, dan 14 tahun yang melelahkan di Orde baru (13 oktober
1965 - juli 1969, pulau Nusa-kambangan Juli 1969 - 16 agustus 1969, pulau buru
agustus 1969 - 12 November 1979, Magelang/Banyumanik November-Desember 1979)
tanpa proses pengadilan. Pada tanggal 21 Desember 1979 Pramoedya Ananta Toer
mendapat surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam
G30S PKI tetapi masih di kenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara
sampai tahun 1999 dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu
selama kurang lebih 2 tahun. Beberapa karyanya lahir dari tempat dari tempay
purba ini, diantaranya, Tetralogi baru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak
Langkah, dan Rumah Kaca).
Penjara tak membuatnya berhenti sejengkal pun menulis. Dari tangannya yang dingin telah lahir dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Pramoedya Ananta Toer dianugerahi berbagai penghargaan internasional, di antaranya : The PEN FreedomtowriteAward pada 1988, Ramon MagsaysayAward pada 1995, FukuokaCultur Grand Prince, Jepang pada tahun 2000 dan pada tahun 2004 mendapatkan penghargaan The NorwegianAuthours Union dan PabloNuruda dari Presiden Republik ChileSenor Ricardo LagosEscobar. Sampai akhir hidupnya, ia adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya bekali-kali masuk dalam daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra.
● Hubungan pengarang dengan Novel Gadis Pantai :
Gambaran dalam novel Gadis Pantai, sebagian besar novel ini merupakan suatu pengalaman atau kenyataan yang pernah ia lihat, pernah ia rasakan dan dialami oleh pengarang sebagai individu yang berada dalam masyarakatnya. Dalam novel ini Pramoedya berusaha mengusuk tentang kejamnya feodalisme Jawa yang terjadi waktu itu. Hal itu dilatarbelakangi oleh kehidupan Pramoedya yang merupakan salah satu wacana wakil dari masyarakat pada kelompok orang kebanyakan. Dalam mengarang novel ini Pramoedya terinspirasi dari neneknya sendiri (nenek dari ibu) yang bernama Satimah. Neneknya merupakan cerminan orang kebanyakan yang dijadikan selir oleh kakeknya. Kakeknya adalah seorang penghulu di kota Rembang. Tetapi, setelah melahirkan bayi perempuan yang tak lain adalah ibu kandung Pramoedya, ia diusir dari gedung tuannya. Nenek Satimah berasal dari keluarga miskin, karakternya yang periang, suka memberi dan sayang kepada cucu-cucunya. Meskipun Pramoedya tidak begitu mengenal neneknya, namun dari sinilah nenek Satimah merupakan model asli dari Gadis Pantai.
2).
Nilai-nilai
1) Nilai Budaya
Perbedaan
budaya dan tradisi antara orang atasan dengan orang bawahan, antara orang kota
dan orang kampung. Dan hal yang paling tidak saya mengerti adalah budaya masa
lalu yang memperbolehkan saja menikah dengan diwakilkan sebilah keris hanya
karena ia seorang Bendoro yang tak pantas turun ke kampung untuk melaksanakan
pernikahan percobaan yang bahkan untuk dirinya sendiri. Kemarin malam ia telah
dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris (Gadis Pantai, 2011:hal 12). Bahkan,
di kampung juga tak mengerti apa itu dan bagaimana minyak wangi itu. “Apa
ini?”. Minyak wangi, Mas Nganten.‘’ (Gadis Pantai, 2011:hal 27). Serta perilaku
seorang wanita utama yang harus selalu tenang, sopan dan santun. “Antarkan!”
Gadis Pantai menumbuk lantai dengan kaki sebelah. “Ceh, ceh, ceh. Itu tidak
layak bagi wanita utama, Mas Nganten. Wanita utama cukup menggerakkan jari dan
semua akan terjadi .... ” (Gadis Pantai, 2011:hal 28). ”Karena dengan emas ...
karena .. ya, nampaknya dia tidak nampak sahaya, dan tidak sama dengan orang kebanyakan”
(Gadis Pantai, 2011:hal 54). Perbedaan budaya dan tradisi antara orang atasan
dengan orang bawahan, antara orang kota dan orang kampung. ”Di kampung orang
tak berhias bunga pada sanggulnya”. ”Di kota, Mas Nganten, barang siapa sudah
bersuami, sanggulnya sebaiknya dihias kembang.” (Gadis Pantai, 2011:hal 55).
Lalu, di kampung, orang-orang biasa melayani diri sendiri. Mandi, makan, minum,
dan sebagainya sendiri, namun di pendopo, sebagai seorang atasan / ningrat, ia
didampingi oleh seorang pelayan yang selalu setia mengabdi dan membantu
urusannya di dalam pendopo. “Mbok, aku tak pernah dilayani sebelum ke mari.”(Gadis
Pantai, 2011:hal 64). Bahkan, wayang juga satu keberadaanya di kampung
sedangkan ada di pendopo “Wayangkah itu?”. “Di tempat Mas Nganten tak ada
wayang?”. “Kami hanya pernah dengar. Tak ada gambar wayang di rumah-rumah kami
di kampung nelayan. ” (Gadis Pantai, 2011:hal 85). Serta perbedaan keyakinan
antara orang kota dengan nelayan yang hanya melihat bahwa laut itu kaya. “Mereka
tidak mengerti, Mas Nganten. Wayang itu
nenek moyang kita sendiri. ” “Nenek moyang mBok sudah tidak ada, tapi laut
tetap ada.”. “Uh-uh Mas Nganten, kita tidak bakal ada kalau nenek moyang kita
tidak ada.” “Kakek itu pernah bilang mBok, segalanya bersumber di laut. Tak ada
yang lebih kuat dari laut. Nenek moyang kami juga bakal tidak ada kalau laut
tidak ada. ” (Gadis Pantai, 2011:hal 86). Hal ini jelas membuktikan bahwa
nelayan hanya menganggap bahwa laut itu ada, atau membiarkan salah satu ikan
yang melahap nelayan yang tak sengaja menangkapnya, serta memberikan nafkah penghidupan
pada para nelayan, sedangkan di pendopo, Bendorolah yang berjalan, semua orang
mengabdi kepada Bendoro, semua di tangan Bendoro.
2). Nilai Sosial
Dalam roman ini digambarkan mengenai kekejaman yang tak
berperikemanusiaan dan tak beradab seorang penguasa yang memiliki kedudukan
sebagai ningrat atau bangsawan ditunjukan kepada seorang gadis lugu dari sebuah
Kampung Nelayan yang dijadikan istri percobaan penguasa. Jelas sekali bahwa ini
merupakan kritik terhadap feodalisme jawa yang digambarkan sangat kental dalam
Roman Gadis Pantai ini. Orang rendahan ditakdirkan untuk mengabdi pada seorang
atasan seperti dalam cuplikan dialog berikut: “Semua, Mas Nganten, untuk
mengabdi pada Bendoro.” (Gadis Pantai, 2011:hal 69). ”Kita sudah ditakdirkan
oleh yang kita puji dan yang kita sembah buat jadi pasangan orang atasan. Kalau
tidak ada orang rendahan, tentu tidak ada orang atasan. ” (Gadis Pantai, 2011:hal
99).
3).
Nilai Agama
Dalam roman ini, Bendoro selalu sholat dan mengaji di sebuah ruangan yang bernama khalwat. Khalwat sendiri dalam Bahasa Arab artinya seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berduaan tidak ada sebagai orang ketiga. Pada tangan kanannya ia membawa tasbih, pada tangan kirinya membawa bangku lipat tempat menaruhkan Qur'an. Langsung ia menuju ke permadani di depan, meletakkan bangku lipat di samping kiri dan tasbih di samping kanan dan mulai sembahyang. (Gadis Pantai, 2011:hal 36). Bendoro pun juga mengaji setelah sholat. Dan Bendoro telah menyelesaikan “Bismillahirohmanirrohim”, ... (Gadis Pantai, 2011:hal 37). Lalu, nilai-nilai agama yang diterapkan di pendopo berbeda dengan di kampung. “sepuluh tahun yang baru lalu aku juga pernah datang ke kampungmu. Kotor, miskin, orangnya tak pernah beribadah. Kotor itu tercela, tidak dibenarkan oleh orang yang tahu agama. ”Kebersihan, Mas Nganten, adalah bagian penting dari iman. Itu namanya kebersihan batin. Ngerti Mas Nganten?“ (Gadis Pantai, 2011:hal 41). Anak-anak Bendoro pun diajari mengaji setiap hari.”Ya, di samping kiri kan ada surau. Di sana mereka belajar, juga mengaji. ” (Gadis Pantai, 2011:hal 55).
3). Situasi dan kondisi
Novel ini sangat kritis
membicarakan feodalisme Jawa pada masa itu. Sebuah novel yang mungkin
mewakilkan suara rakyat jelata, rakyat dari golongan bawah dalam sistem
feodalisme Jawa.
- Gaya Bahasa : Campuran bahasa indonesia jaman dahulu dengan bahasa Jawa pada beberapa kata seperti “kanca” (teman) dan “colong” (mencuri) serta sebutan bagi orang Jawa seperti “Mas Nganten” (Perempuan yang melayani “kebutuhan” seks pembesar sampai kemudian pembesar memutuskan untuk menikah dengan perempuan yang sekelas atau sederajat dengannya), “Sahaya” (hamba), dan “Bendoro” (Pejabat tinggi pada zaman kolonial).
F. Unsur Kebahasaan yang Terdapat di Novel Gadis Pantai
1. Gaya Bahasa Perbandingan
a. Majas Simile
1) “Tertinggal Gadis Pantai seorang diri dalam ruangan besar yang tak pernah di injaknya semula, laksana seekor tikus di dalam perangkap.” (Gadis Pantai, 2011:hal 35).
2) “Ia merasa asing dan terpencil laksana seekor kera dalam kerangkeng. (Gadis Pantai, 2011:hal 165).
b. Majas Asosiasi
1) Dan langit diatas sana putih, Cuma putih, seperti kapas tanpa setitik pun warna lain. (Gadis Pantai, 2011:hal 182).
c. Majas Personifikasi
1) Angin yang bersuling di puncak pohon-pohon cemara tidak membuat pertumbuhan nya lebih baik. (Gadis Pantai, 2011:hal 11).
2) Diluar matahari bersembunyi dibalik puncak-puncak pepohonan kelapa, cemara, dan beringin dan deburan ombak makin jelas karena makin merambah pantai. (Gadis Pantai, 2011:hal 21).
3) Dinding-dinding batu tebal itu bisu-kelabu tanpa hati. (Gadis Pantai, 2011:hal 36).
4) Tinggal angina kini berjingkrak merajai alam. (Gadia Pantai, 2011:hal 106).
5) Dan waktu pun merangkak terus, kadang-kadang saja melompat tanpa irama. (Gadis Pantai, 2011:hal 106).
6) Bintang-bintang bertabur di langit malam. (Gadis Pantai, 2011:hal 137).
7) Sebentar kemudian seluruh alam pun tertidur. Tinggal bintang, ombak, dan angin yang masih melakukan tugasnya. (Gadis Pantai, 2011:hal 139).
d. Majas Metafora
1) Dan jadilah ia bunga kampung nelayan sepenggal pantai keresidenan Jepara Rembang. (Gadis Pantai, 2011:hal 11).
2. Gaya Bahasa Pertautan
a. Majas Sinekdok Pars Prototo
1) Tapi wajah pucat berhidung mancung itu tak juga menyembul di kirai pintu. (Gadis Pantai, 2011:hal 89).
3. Gaya Bahasa Pertentangan
a. Majas Hiperbola
1) Dengan mata berapi-api pemuda kerabat-kerabat Bendoro itu menentang mata Gadis Pantai. (Gadis Pantai, 2011:hal 111).
2) Tapi lapar tetap membelit-belit dalam perutnya. (Gadis Pantai, 2011:hal 43).
Komentar
Posting Komentar